OPINI | Bicara pemilu, tidak akan pernah ada habisnya, semakin dibahas, semakin banyak tema baru yang akan muncul, apakah itu prihal tahapannya, logistiknya, sumberdaya manusianya, para pesertanya atau bahkan mungkin mengenai hasilnya.
Sadar atau tidak, kita sudah ada di era keberlimpahan, melimpah atas segalanya, sumberdaya, sumber berita, sumber informasi, bahkan sumber ekonomi kian mudah di akses hanya dari genggaman.
Pada opini sebelumnya, penulis sedikit menyentil prihal, demokrasi di era abundance/keberlimpahan, dimana akses atas semua ruang bisa dimiliki oleh semua orang, dan sangat praktis ada di genggaman masing-masing.
Kaitannya dengan tulisan ini, bahwa penting bagi semua kita untuk benar-benar memanfaatkan perkembangan teknologi yang kian mutakhir, mudah diakses, cepat dan terbuka bagi siapa saja. maka sebagai penyelenggara pemilu, penulis merasa hal tersebut juga sangat penting bagaimana membaca peluang untuk mendorong transformasi pada pemilu mendatang, misalnya dari konvensional menuju e-voting.
Penulis sepakat dengan apa yang di sampaikan oleh salah seorang anggota komisi II DPR kala meminta KPU untuk mulai berfikir transformasi pemilu di zaman digital ini.
Dalam hemat penulis, ide dan gagasan mendorong pemilu menjadi e-voting adalah lompatan yang sangat luar biasa, namun hal tersebut tentu butuh kajian mendalam, butuh diskusi dan debat panjang, bahkan butuh riset dan dan kajian-kajian ilmiah yang melibatkan banyak orang.
Sependek bacaan penulis, ada 4 jurnal yang mengulas tentang pemilu dengan e-voting, dan tidak lebih dari 10 opini yang merespon gagasan tersebut, artinya, secara campaign, gagasan pemilu menggunakan e-voting masih kurang mendapat respon, entah belum memahami secara teknis, atau memang masih belum jelas arahnya, saya tidak berani memastikan, mengapa demikian.
Namun dibalik itu semua, penulis tetap optimis, menjawab zaman yang serba mudah ini, indonesia akan bisa bertransformasi baik dari sisi sumberdaya manusia, ekonomi, budaya, hukum, dan sebagainya, bahkan prihal Pemilu sekalipun.
Dalam upaya mendorong transformasi tersebut, penulis berpendapat bahwa yang harus dibangun adalah Pertama, regulasinya, sebab negara ini adalah negara hukum, kita tidak bisa bekerja jika tidak ada landasan hukumnya. maksudnya, para pemangku kebijakan perlu memantangkan regulasi menuju Pemilu dengan e-voting. Kedua, menyiapkan sumberdaya yang mumpuni, yang ekspert dibidangnya yang diberangi dengan peralatan dan perangkat yang akan digunakan. Ketiga, sosialisasi atau mungkin uji publik atas gagasan tersebut. Keempat, simulasi di level tertentu, mungkin saja bisa di praktikkan di desa, atau di kabupaten tertentu, atau bahkan mungkin diruang yang paling kecil semisal saat pemilihan ketua osis, ketua Bem dan sebagainya.
Mungkin negara kita tidak sehebat Negara Estonia yang sejak tahun 2005 menggunakan i-voting, atau tidak secepat Swiss, yang beberapa kotanya sudah mengujicoba e-voting, atau negara India yang menerapkan Electronic Voting Machine (EVM), walaupun hasilnya masih membutuhkan verifikasi kertas. demikian juga dengan negara Brazil, yang sudah menggunakan e-voting sejak lama, pun halnya dengan negara Amerika Serikat yang beberapa negara bagiannya menggunakan i-voting untuk pemilih, walaupun tidak untuk semua warga negaranya.
Hal tersebut menandakan bahwa, sudah ada negara yang menerapkan i-voting dan e-voting, dalam menjawab laju perkembangan teknologi saat ini.
Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan, negara Indonesia, melalui penyelenggara pemilu, yakni KPU, bisa mentransformasi gagasan pemilu dari konvensional menuju e-voting.
Mungkin ada yang bertanya, apa perbedaan mendasar pada pemilu kovensional, dengan i-voting dan e-voting, atau bahkan ada yang bertanya lebih teknis, mana yang lebih efektif dan efisien, pemilu konvensional dengan i-voting atau pemilu dengan e-voting, seperti apa teknisnya di TPS. pelan-pelan penulis akan menguraikannya dalam tulisan selanjutnya.
Kesimpulan sementara tulisan ini adalah, gagasan transformasi pemilu dari konvensional ke e-voting menuju i-voting bukanlah omong kosong, semua bisa terjadi selama visi besar memperbaiki kualitas demokrasi kita fahami bersama, dengan komprehensif dan menyadari bahwa kitalah bertanggung jawab terhadap negara kita sendiri, bukan orang lain.
Menutup tulisan ini, penulis mengajak kita semua, merenungi sebuah kaidah yang berbunyi "Al-muḥāfaẓatu ‘ala al-qadīmi aṣ-ṣāliḥ wa al-akhdzu bil-jadīdi al-aṣlaḥ". yang artinya: "Memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik."
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih Sudah Berkunjung di Website Kami