Iklan

Koperasi Merah Putih, Terobosan Pemerintah Pusat untuk Kemajuan Ekonomi Desa

NUSRA ID
Rabu, 18 Juni 2025, 9:06 PM Last Updated 2025-06-18T14:11:31Z

Foto bersama narasumber podcats, Kadis Koperasi UMKM NTB, Kades Darmaji dan Akademisi dari UGR dengan membahas pembentukan Koperasi Merah Putih di NTB.
 



NUSRA.ID - Program nasional Koperasi Merah Putih (Kopdes) kini menjadi perhatian publik, terutama karena peran strategisnya dalam mendorong ekonomi desa melalui pendekatan koperasi berbasis masyarakat. 



Namun, meski digadang-gadang sebagai solusi jangka panjang untuk pemerataan pembangunan, implementasinya di lapangan menuai beragam respons. Antara optimisme pemerintah daerah, semangat kepala desa, hingga catatan kritis dari kalangan akademisi.



Pemerintah Provinsi NTB: Kopdes untuk Putus Rantai Ekonomi yang Merugikan Desa


Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Nusa Tenggara Barat, Ahmad Mashuri, menjelaskan bahwa kehadiran Kopdes di NTB dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di desa-desa dan memutus rantai distribusi yang terlalu panjang dan merugikan masyarakat desa.



"Tujuan koperasi merah putih untuk mempermudah atau mempercepat peningkatan ekonomi masyarakat, terutama di desa," ujarnya, Rabu (18/6/2025).



Mashuri menyebut, selama ini masyarakat desa kerap dirugikan karena keterbatasan akses terhadap pasar maupun barang kebutuhan pokok. 



"Mereka menjual hasil produksinya lebih murah dari yang seharusnya, tapi saat membeli barang, justru lebih mahal. Ini yang harus diputus, dan koperasi hadir sebagai penyedia barang serta membantu penjualan hasil pertanian," jelasnya.



Tak hanya sektor perdagangan dan pertanian, Kopdes juga dirancang mencakup layanan kesehatan hingga pergudangan. 



"Klinik akan menjadi salah satu unit usaha Kopdes, yang harus memiliki dokter, bidan, perawat. Bahkan akan ada apotek. Kami juga dorong pembangunan cold storage agar petani bisa menunggu harga membaik sebelum menjual hasilnya," tambah Mashuri.



Hingga Juni 2025, tercatat dari 1.166 desa dan kelurahan di NTB, sebanyak 1.165 sudah melaksanakan musyawarah desa khusus (Musdesus). 



"Sudah ada 1.664 pengajuan pembentukan badan hukum koperasi, dan 551 di antaranya telah berbadan hukum," katanya.



Sementara itu, Kepala Desa Darmaji, Suhaidi, menegaskan bahwa program Kopdes di wilayahnya berjalan tanpa hambatan berarti.



"Alhamdulillah tidak ada kendala yang terlalu berarti. Kita sudah jelaskan ke masyarakat bahwa koperasi merah putih merupakan program yang baik dari pemerintah," ujar Suhaidi.



Ia menyebut bahwa proses pembentukan badan hukum koperasi di desanya sudah rampung, dan kini tinggal merapikan unit bisnis oleh pengurus. Yang menarik, Suhaidi menekankan pentingnya profesionalisme dan independensi pengurus koperasi.



"Pengurus bukan dari unsur pejabat desa, juga bukan keluarga dekat kepala desa. Banyak SDM muda di desa kami, bahkan ada yang baru lulus kuliah dan punya gagasan bagus untuk membangun ekonomi desa," katanya.



Terkait sumber pendanaan, Suhaidi menjelaskan bahwa dana desa bisa menjadi sumber pembiayaan awal, selain dari CSR dan iuran anggota. 



"Koperasi ini memiliki skema simpanan pokok dan simpanan wajib yang menjadi modal awal. Awalnya ada beberapa kepala desa yang tidak sepakat karena merasa akan mengganggu dana desa, tapi setelah tahu sumber pendanaannya, bisa diterima," terangnya optimis.



Konsep Ideal Vs Realitas Lapangan


Namun pandangan berbeda datang dari Dr. Maharani, peneliti dari Lombok Riset Center (LRC). Berdasarkan temuan risetnya terhadap 108 desa sampel di Indonesia, mayoritas pemerintah desa justru tidak setuju dengan pelaksanaan Kopdes.



"76 persen tidak setuju, 21 persen setuju, dan 3 persen tidak tahu. Ini menarik dan harus jadi bahan evaluasi ke depan. Kadang-kadang kita diskusi di warung kopi, tapi hasilnya jadi kebijakan skala nasional," ujar Maharani dengan nada kritis.



Ia juga menyoroti pendekatan top-down yang digunakan pemerintah pusat. 



"Biasanya koperasi itu tumbuh dari bawah (bottom-up), tapi Kopdes ini dibentuk dari atas, lewat instruksi langsung presiden. Ini mengurangi partisipasi masyarakat karena prosesnya cepat sosialisasi, langsung musyawarah, langsung pengurusan," kritiknya.



Lebih lanjut, Maharani menilai struktur budaya dan ekonomi desa yang beragam tidak bisa disamaratakan. 



"Desa itu punya struktur budaya, ekonomi, sejarah yang berbeda dari kota. Tidak bisa kita potret satu model lalu diterapkan ke semua desa," jelasnya.



Ia juga menyoroti persoalan pembiayaan, di mana petunjuk teknis dari Kementerian Koperasi menyebut bahwa modal utama berasal dari BUMN dan pinjaman bank Himbara, dengan kewajiban iuran selama 10 tahun.



“Berdasarkan riset kami, 25 persen masyarakat desa menginginkan pembangunan infrastruktur, dan 36 persen ingin penguatan ekonomi lokal. Ini tidak selalu sejalan dengan konsep koperasi yang dipaksakan dari pusat," tutup Maharani.

Komentar

Tampilkan

Terkini