NUSRA.ID - Sebuah rumah setengah mangkrak di Dusun Repok, Desa Peneda Gandor, menjadi saksi bisu perjuangan seorang ayah. Temboknya penuh lumut, kayunya lapuk dimakan rayap, dan gazebo tuanya nyaris roboh. Namun dari sanalah, Rudi Hartawan (46) menggantungkan harapan terakhirnya agar kelima anaknya tetap bisa sekolah.
Dua tahun lalu, Rudi adalah pedagang gorengan yang cukup dikenal. Dagangannya laris, bahkan kerap diburu oleh pelanggan dari luar desa. “Waktu itu orang bilang gorengan saya enak. Sehari bisa dapat satu sampai dua juta rupiah,” kenangnya dengan mata menerawang.
Namun kejayaan itu hanya sementara. Usahanya tiba-tiba sepi tanpa sebab yang jelas. Gerobaknya berhenti mengeluarkan asap, dan penghasilannya lenyap. Tabungan yang selama ini dikumpulkan pun perlahan habis, hanya untuk bertahan hidup dan membiayai sekolah anak-anaknya.
“Saya tidak tahu kenapa tiba-tiba sepi. Lama-lama habis, semua habis,” ucap Rudi lirih, menatap lantai rumah yang sudah mulai retak.
Kini, ia dan keluarganya tinggal menumpang di rumah tua milik keluarga istrinya. Sebagian rumah sudah tak layak huni. Mereka hanya memiliki satu kamar tidur dan ruang tamu yang disulap jadi tempat tidur anak-anak. Sementara Rudi dan istrinya tidur di gazebo reyot di halaman depan.
“Gazebo itu sekarang jadi kamar kami. Anak-anak tidur di dalam, saya dan istri di luar. Kalau hujan, ya basah,” tuturnya dengan suara bergetar.
Istrinya, satu-satunya tulang punggung keluarga, hanya seorang buruh tani dengan upah Rp30-35 ribu per hari. Uang itulah yang digunakan untuk makan sekeluarga, dan menyambung hidup kelima anak mereka yang semuanya masih sekolah. Satu sedang kuliah di Jakarta, dua di SMA, satu di SMP, dan si bungsu di SD.
“Yang paling kecil sebentar lagi wisuda SD. Di sini kalau wisuda harus pakai kebaya dan make up. Sewa kebaya saja tidak mampu, makan saja susah,” katanya nyaris tak bersuara.
Rudi sudah berkeliling mencari pekerjaan, mengetuk pintu-pintu harapan di instansi pemerintah dan kerabat dekat. Namun pintu itu belum terbuka. Ia ingin kembali berjualan gorengan, pekerjaan yang dulu pernah memberinya harapan, tapi tak ada modal, tak ada peralatan, dan tak ada jaminan untuk meminjam ke bank.
“Kalau bisa jualan lagi, saya yakin bisa bangkit. Tapi bagaimana mau mulai? Modal tidak ada, jaminan tidak ada,” keluhnya, sembari menunduk menahan air mata.
Di tengah ketidakpastian, hanya satu yang tak pernah padam dalam dirinya: semangat agar anak-anaknya bisa terus bersekolah. Rudi tak ingin kemiskinan memutus rantai cita-cita mereka. Ia rela tidur di gazebo, rela kelaparan, asal anak-anaknya tetap bisa mengenyam pendidikan.
“Mereka punya mimpi, saya cuma ingin bantu mereka sampai berhasil. Saya cuma butuh sedikit bantuan untuk bangkit,” tutupnya pelan, seolah menggantungkan harapan kepada siapa saja yang masih peduli.
Baca juga berita di www.opsintb.com