_Cerpen: Amaq Bagok_
Dulu, setiap pagi di Teluk Ekas, suara ombak bersahut dengan tawa anak-anak nelayan. Warung kopi Inaq Sebah di bawah pohon waru selalu penuh. Asap kopi mengepul, bercampur aroma laut dan pasir basah. Di sudutnya, ada Salim, pemandu surfing lokal yang fasih berbahasa Inggris dengan logat Ekas yang khas. Ia biasa menjemput tamunya dari homestay sederhana milik keluarganya yang hanya berdinding anyaman dan beratap seng.
Tamu-tamu asing datang silih berganti. Kadang dari Prancis, Australia, Jepang. Mereka makan di warung-warung lokal, tidur di rumah warga, belajar menangkap ikan, dan selalu mengangguk sopan jika disapa. Ekas tenang. Ekas damai. Ekas hidup.
Tapi waktu berubah.
Kini, perahu-perahu datang dari luar. Tak singgah di dermaga, tak menyapa siapa-siapa. Tamu-tamu itu langsung dibawa ke tengah Teluk, menikmati ombak, lalu pergi lagi. Tak ada yang menginap. Tak ada yang makan. Mereka kembali ke Senggigi, ke Mandalika, ke Bali, atau Mataram. Homestay milik keluarga Salim sunyi, hanya lampu gantung yang terus bergoyang diterpa angin laut.
Di warung kopi Inaq Sebah, hanya tinggal bangku kosong dan atap bocor yang merintik saat hujan. Tak ada lagi asap kopi, tak ada tawa tamu asing yang heran melihat ayam tidur di kursi. Yang ada hanya gelas-gelas kusam, dan wajah-wajah sendu warga yang dulunya menyambut pagi dengan harapan.
“Dulu, setiap tamu datang, kami bersyukur. Sekarang, kami hanya menatap perahu yang melaju… lalu hilang,” gumam Inaq Sebah.
Warga tak marah. Tapi mereka terluka. Tergerus pelan-pelan oleh sistem yang tak memihak. Mereka menunggu… siapa yang peduli?
Lalu datanglah Iron.
Ia bukan tokoh fiksi. Ia Bupati Lombok Timur, berjalan menyusuri pasir Ekas dengan langkah cepat dan wajah tegas. Di matanya, tergambar kemarahan. Tapi di balik itu, ada luka yang ia simpan dari suara-suara kecil yang ia dengar di setiap kunjungannya: “Pak, homestay kami sepi… warung kami mati… tamu kami hilang.”
Ia bicara dengan suara tinggi. Menegur. Melarang. Mengusir. Videonya viral.
Sebagian orang mencibir, “Terlalu kasar.” Tapi sebagian lain bersyukur, “Akhirnya ada yang bersuara untuk kami.”
Iron adalah suara yang meledak karena terlalu lama dipendam. Mungkin ia keliru dalam cara, tapi banyak yang paham pada rasa.
Dan Salim pun berkata pelan, “Saya tidak ingin orang luar pergi. Saya hanya ingin kami juga diberi tempat. Karena laut ini bukan milik siapa-siapa. Tapi kami sudah lama tinggal di tepinya.”
Akhir yang Mengandung Harapan,
Kini, suara mulai mengalun dari berbagai penjuru. Ada wacana kerja sama, pembagian zona surfing, skema kemitraan, dan regulasi baru. Harapan kecil menyala lagi di warung Inaq Sebah, ia menanak air, barangkali esok ada tamu yang mampir. Salim kembali menata papan surfing miliknya, siapa tahu minggu depan ada nama baru yang datang untuk belajar ombak.
Masyarakat lokal tak menuntut banyak. Hanya satu: dilibatkan, dihargai, dan diberi ruang. Karena sesungguhnya mereka bukan penjaga pantai, mereka adalah penjaga jiwa dari tempat itu.
Teluk Ekas mungkin hanyalah satu lekuk kecil di peta Indonesia. Tapi di sana, ada hati-hati besar yang sedang berharap. Semoga semua pihak berhenti saling menyalahkan, dan mulai merajut solusi. Agar tak ada lagi asap kopi yang hilang.
Karena ketika pariwisata berpihak pada semua, maka Teluk Ekas tak sekadar tentang ombak, ia adalah rumah bersama.
Sumber facebook: Bang Zul Zulkieflimansyah